Selasa, 13 November 2012

Substansi proses pembentukan perilaku manusia secara Nature dan Nurture

Substansi proses terbentuknya perilaku manusia secara NATURE dan NURTURE Sebelum kita membahas masalah subtansi proses pembentukan perilaku manusia secara Nature dan Nuture, kita perlu mengetahui bagaimana psikologi sekarang ini tersebar di masyarakat, mereka berpandangan salah tentang psikologi. Karena banyak ulasan tentang masalah psikologi tetapi tidak ilmiah dan tidak tepat, serta praktek perdukunan yang dilakukan oleh kalangan yang “sok” psikologis yang menggunakan istilah psikologi. Pemahaman awam, informasi dari media, dan pengalaman pribadi bukanlah satu-satunya sumber kesalahpahaman akan perilaku manusia. Psikologi memiliki banyak pesaing yang tidak ilmiah, seperti “ilmu-ilmu” palmistri, grafologi, ramalan nasib, numerologi, dan yang paling populer, astrologi (Wade & Tavris, 2007). Para psikolog berusaha menjelaskan berbagai persoalan manusia dan meramalkan perilaku manusia. Sebelum kita memperoleh gambaran yang lebih jelas bagaimana psikologi itu kita harus tahu apa psikologi itu?? Psikologi berasal dari dua kata Yunani, yaitu psyche artinya “jiwa” dan logos artinya “ilmu atau ilmu pengetahuan”. Menurut istilah psikologi berarti ilmu tentang jiwa (Azhari, 2004). Pada dasarnya psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku. Objek yang difokoskan dalam psikologi adalah manusia. Telah bertahun-tahun para psikolog menggeluti masalah perbedaan antarmanusia dan mereka terpecah menjadi dua kubu. Kubu yang pertama yaitu nativist, adalah pihak yang menekankan pada gen dan karakteristik dasar (yang ada sejak lahir) atau nature. Kubu yang lain adalah golongan empiricist yang lebih menitikberatkan proses belajar dan pengalaman, yang disebut nurture. Nature dan nurture merupakan sebuah pembahasan yang banyak diperdebatkan dalam psikologi. Nature dapat kita artikan sebagai kekuatan biologis yang mengatur perkembangan. Sedangkan nurture mengacu pada kondisi lingkungan dan yang mendukung pengembangan. Faktor-faktor nurture yang mempengaruhi perkembangan manusia bisa berasal dari lingkungan keluarga, masyarakat, bahkan faktor ekonomi dan budaya pun juga termasuk kedalamnya. Keduanya saling terkait dan memiliki pengaruh yang sama besar dalam pembentukan karakter dan sikap seseorang. Edward L. Thorndike (1903), salah seorang psikolog terkemuka pada tahun 1900-an memihak kubu pertama ketika ia membuat pernyataan bahwa “Dalam kehidupan manusia, faktor yang paling menentukan adalah hereditas”. Akan tetapi, peneliti yang sezaman dengannya, yaitu John B. Watson (1925), seorang tokoh behavioris dalam ungkapannya yang sangat terkenal, menyatakan bahwa pengalaman mampu menuliskan segala pesan pada tabula rasa-lembaran putih bersih-sifat dasar manusia. Konstribusi nature dan nurture membentuk kesamaan maupun perbedaan antarmanusia. Penelitian dalam genetika perilaku (behavioral genetic) berupaya mengungkap konstribusi dari hereditas (faktor keturunan) dan faktor lingkungan untuk menjelaskan perbedaan individual dalam karakteristik manusia. Kini hampir tidak ada lagi yang orang yang memperdebatkan masalah nature dan nurture. Sebagaimana pernah ditulis oleh seorang ilmuwan, “Perdebatan tentang nature dan nurture telah selesai”[1]. Hampir semua psikolog dewasa ini memahami bahwa pembawaan hasil keturunan dan lingkungan selalu berinteraksi dan menghasilkan bukan hanya sifat-sifat psikologis, namun juga sebagian besar ciri-ciri fisik. Pertama, gen mempunyai dampak bagi pengalaman kita. Di sisi lain, pengalaman memengaruhi gen. Tekanan stres, pola makan, emosi, dan perubahan hormon dapat memengaruhi gen yang aktif maupun yang tidak aktif pada saat-saat tertentu selama hidup seseorang. Pentingnya perbandingan hereditas dan lingkungan adalah persoalan besar di antara para psikolog dan masyarakat umum. Saat ini telah jelas bahwa walaupun beberapa gangguan fisik langka 100 persen adalah keturunan, kecenderungan untuk kebanyakan kondisi normal merupakan hasil kekuatan herediter dan lingkungan yang kompleks. nature berasal dari genetik, bawaan sejak lahir, sedangkan nurture adalah hasil interaksi manusia dengan lingkungannya. Interaksi antara nature dan nurture yang membentuk perilaku manusia, menghasilkan sebuah pembelajaran. Sebagian besar perilaku manusia dipengaruhi oleh lingkungan. Untuk melihat pengaruh nurture terhadap perilaku, ada tahapan yang pertama kali muncul adalah sikap. Komponen dari sikap adalah kognitif, afeksi dan perilaku. Ilmu psikologi dapat mengukur motif dari perilaku individu. Dalam psikologi dari perilaku individu yang dapat diukur adalah knowledge dan skill, sikap kerja (attitude), dan personality. Knowledge dan skill dapat dilihat melalui IQ (yang dilihat adalah kapasitas individu tersebut). Teori-teori awal yang dianggap mampu menjelaskan perilaku seseorang, difokuskan pada dua kemungkinan (1) perilaku diperoleh dari keturunan dalam bentuk instink-instink biologis - lalu dikenal dengan penjelasan "nature" - dan (2) perilaku bukan diturunkan melainkan diperoleh dari hasil pengalaman selama kehidupan mereka - dikenal dengan penjelasan "nurture". Penjelasan "nature" dirumuskan oleh ilmuwan Inggris Charles Darwin pada abad kesembilan belas di mana dalam teorinya dikemukakan bahwa semua perilaku manusia merupakan serangkaian instink yang diperlukan agar bisa bertahan hidup. Mc Dougal sebagai seorang psikolog cenderung percaya bahwa seluruh perilaku sosial manusia didasarkan pada pandangan ini (instinktif). Namun banyak analis sosial yang tidak percaya bahwa instink merupakan sumber perilaku sosial. Misalnya William James, seorang psikolog percaya bahwa walau instink merupakan hal yang mempengaruhi perilaku sosial, namun penjelasan utama cenderung ke arah kebiasaan - yaitu pola perilaku yang diperoleh melalui pengulangan sepanjang kehidupan seseorang. Hal ini memunculkan "nurture explanation". Tokoh lain yang juga seorang psikolog sosial, John Dewey mengatakan bahwa perilaku kita tidak sekedar muncul berdasarkan pengalaman masa lampau, tetapi juga secara terus menerus berubah atau diubah oleh lingkungan - "situasi kita" - termasuk tentunya orang lain. Berbagai alternatif yang berkembang dari kedua pendekatan tersebut kemudian memunculkan berbagai perspektif dalam psikologi sosial - seperangkat asumsi dasar tentang hal paling penting yang bisa dipertimbangkan sebagai sesuatu yang bisa digunakan untuk memahami perilaku sosial. Ada empat perspektif, yaitu : perilaku (behavioral perspectives) , kognitif (cognitive perspectives), stuktural (structural perspectives), dan interaksionis (interactionist perspectives). Perspektif perilaku dan kognitif lebih banyak digunakan oleh para psikolog sosial yang berakar pada psikologi. Mereka sering menawarkan jawaban yang berbeda atas sebuah pertanyaan : "Seberapa besar perhatian yang seharusnya diberikan oleh para psikolog sosial pada kegiatan mental dalam upayanya memahami perilaku sosial?". Perspektif perilaku menekankan, bahwa untuk dapat lebih memahami perilaku seseorang, seyogianya kita mengabaikan informasi tentang apa yang dipikirkan oleh seseorang. Lebih baik kita memfokuskan pada perilaku seseorang yang dapat diuji oleh pengamatan kita sendiri. Dengan mempertimbangkan proses mental seseorang, kita tidak terbantu memahami perilaku orang tersebut, karena seringkali proses mental tidak reliabel untuk memprediksi perilaku. Misalnya tidak semua orang yang berpikiran negatif tentang sesuatu, akan juga berperilaku negatif. Orang yang bersikap negatif terhadap bangsa A misalnya, belum tentu dia tidak mau melakukan hubungan dengan bangsa A tersebut. Intinya pikiran, perasaan, sikap (proses mental) bukan sesuatu yang bisa menjelaskan perilaku seseorang. Sebaliknya, perspektif kognitif menekankan pada pandangan bahwa kita tidak bisa memahami perilaku seseorang tanpa mempelajari proses mental mereka. Manusia tidak menanggapi lingkungannya secara otomatis. Perilaku mereka tergantung pada bagaimana mereka berpikir dan mempersepsi lingkungannya. Jadi untuk memperoleh informasi yang bisa dipercaya maka proses mental seseorang merupakan hal utama yang bisa menjelaskan perilaku sosial seseorang. Perspektif struktural dan interaksionis lebih sering digunakan oleh para psikolog sosial yang berasal dari disiplin sosiologi. Pertanyaan yang umumnya diajukan adalah : " Sejauhmana kegiatan-kegiatan individual membentuk interaksi sosial ?". Perspektif struktural menekankan bahwa perilaku seseorang dapat dimengerti dengan sangat baik jika diketahui peran sosialnya. Hal ini terjadi karena perilaku seseorang merupakan reaksi terhadap harapan orang-orang lain. Seorang mahasiswa rajin belajar, karena masyarakat mengharapkan agar yang namanya mahasiswa senantiasa rajin belajar. Seorang ayah rajin bekerja mencari nafkah guna menghidupi keluarganya. Mengapa ? Karena masyarakat mengharapkan dia berperilaku seperti itu, jika tidak maka dia tidak pantas disebut sebagai "seorang ayah". Perspektif interaksionis lebih menekankan bahwa manusia merupakan agen yang aktif dalam menetapkan perilakunya sendiri, dan mereka yang membangun harapan-harapan sosial. Manusia bernegosiasi satu sama lainnya untuk membentuk interaksi dan harapannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar